Peran Gender dalam Kesehatan Mental Generasi Z
Peran Gender dalam Kesehatan Mental Generasi Z
Fenomena-fenomena yang terjadi pada tahun 2020 tidak akan terlupakan untuk semua masyarakat yang ada di dunia, terutama untuk Generasi Z. Pandemi virus COVID-19 yang belum mereda, bencana awal di awal tahun, dan mental illness yang selalu terjadi setiap tahun. Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana setiap individu bisa mewujudkan potensi mereka sendiri. M dalam penyesuaian diri seseorang dan upaya-upaya yang dilakukan seolah-olah baik-baik saja merupakan faktor dari terganggunya kondisi psikis atau mental seseorang. Peran gender adalah peran yang dilakukan masing-masing gender dan sama-sama memiliki hak dan kewajiban.
Sumber : intothelightid.org |
Isu ini menarik untuk dibahas karena banyak sekali
orang-orang di luar sana yang sebenarnya membutuhkan perhatian khusus, tetapi
banyak yang tidak menghiraukannya. Sebelum membahas isunya, saya akan memberi
tahu sedikit gejala ketika seseorang mengalami gangguan kesehatan mental atau
yang sering dikenal dengan mental illness,
gejalanya dapat berupa halusinasi, suasana hati yang cepat berubah, perasaan
sedih, perasaan cemas, perubahan pola tidur dan makan, bahkan bisa sampai kecanduan
nikotin dan alkohol, serta penyalahgunaan NAPZA (Dikutip dari https://www.alodokter.com/kesehatan-mental,
diakses pada tanggal 29 September 2020).
Gejala-gejala
yang dirasakan dapat mengganggu kegiatan sehari-hari seseorang, tidak jarang
juga banyak yang jadinya tidak sayang sama diri sendiri. Banyak anak yang terganggu
kondisi psikisnya sehingga tidak mampu untuk menerima ilmu yang sedang
diajarkan di sekolah, sulit untuk bersosialisasi juga karena merasa takut dan
tidak percaya untuk bercerita kepada siapapun.
Banyak
sekali masyarakat yang mengotak-ngotakan atau labelling terhadap suatu gender. Itu adalah awal mula bagaimana
kondisi mental dapat terganggu. Masyarakat umumnya menganggap bahwa perempuan
itu lebih rendah dari pada laki-laki, banyak juga yang menganggap feminin hanya
untuk perempuan dan maskulin hanya untuk laki-laki. Namun, apakah pernah
terlintas di pikiran kita siapa yang ingin terlahir menjadi seperti kita
sekarang? Apakah sejak kecil kita dapat menentukan gender kita? Apakah sejak
kecil kita menginginkan untuk menjadi feminin atau maskulin?
Permasalahan gender tidak hanya umum terjadi di sebuah
anggota keluarga (biasanya antara kepala dan pasangan rumah tangga), tetapi
permasalahan gender juga bisa terjadi di lingkungan bermain, bahkan di
lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah biasanya terjadi antar siswa/i atau bahkan
bisa terjadi antara guru dengan murid. Labelling
atau menstereotipkan seseorang secara tidak langsung bisa juga dibilang sebagai
tindakan bullying, jika seseorang
tidak menerima dirinya diperlakukan seperti itu.
Banyak orang menganggap
bahwa laki-laki tidak boleh cengeng, harus maskulin, harus bisa main bola atau
basket, dan banyak lagi, sedangkan perempuan harus feminin, tidak boleh bicara
kasar, harus lembut, dan masih banyak lagi.
Tidak hanya anggapan-anggapan itu, kasus lain yang terjadi di sekolah
pasti kebanyakan ketua dan wakil ketua kelasnya adalah laki-laki, sedangkan
perempuan jarang sekali diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Banyak
yang tidak memberikan perempuan kesempatan dalam bersuara, sehingga menunjukkan
perempuan seolah-olah manusia yang lemah.
Berdasakarkan kasus pertama,
esensi apakah yang didapat ketika kita menstereotipkan suatu golongan?
Laki-laki dituntut menjadi orang yang kuat dan maskulin, sedangkan perempuan
dituntut untuk menjadi lembut dan tidak banyak tingkah. Kondisi ini membuat
seseorang berada dalam situasi yang menekan mereka, tuntutan-tuntutan yang
diberikan oleh orang-orang dapat membuat diri seseorang menyalahkan dirinya
yang sudah terlahir menjadi seperti itu. Pada kasus kedua, perempuan sangat
susah mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin karena kita sudah terdoktrin
bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin. Padahal, perempuan juga bisa menjadi
pemimpin, bahkan tidak jarang perempuan yang lebih baik dalam memimpin
sekelompok orang.
Lalu, bagaimana jika
seseorang menjadi korban tersebut? Kita tidak tahu apa latar belakang mereka,
kita tidak tahu apa yang sedang mereka lalui, dan kita juga tidak punya hak
untuk mengetahui mengapa mereka menjadi seperti itu. Tidak ada orang yang mau
memilih suatu kesalahan, jika maskulin atau feminin adalah sebuah kesalahan,
tidak akan ada orang yang memilih salah satunya. Terkadang, korban juga akan
merasa serba salah untuk melakukan sesuatu, korban akan menuruti keinginan
orang-orang disekitarnya, di sisi lain mereka juga merasa ada yang salah dan
tidak nyaman dengan dirinya, jika memaksakan diri untuk mengikuti keinginan
orang-orang di sekitarnya. Mereka yang menjadi korban terus bertengkar dengan
diri mereka, menyalahkan diri mereka karena sudah menjadi seperti itu, belum
lagi di rumahnya banyak masalah yang tidak dapat dijelaskan, lantas mereka
harus cerita ke siapa kalau lingkungannya tidak ada yang menerima mereka?
Rasanya
tidak mungkin untuk menuntut seseorang menjadi apa yang kita inginkan. Sudah
banyak korban dari gender labelling
yang mengganggu kesehatan mental seseorang. Mereka bisa merasa kesepian dan
tidak memiliki siapa-siapa, jika tidak ada lingkungan yang mendukung mereka.
Paling tidak, kita bisa menerima dan menghargai mereka. Kesehatan mental adalah
hal yang paling serius, korban bisa saja depresi, melakukan hal yang tidak
diinginkan, dan masih banyak hal-hal berbahaya yang dapat terjadi. Kita tidak
pernah tahu apa yang sedang di alami oleh seseorang. Apalagi, dalam situasi
pandemi seperti ini semua orang terisolasi di dalam rumahnya masing-masing,
belum tentu ada orang yang bisa diajak untuk berbicara, kalau terjadi sesuatu
siapa yang akan membantu? Oleh karena itu, perlu kesadaran dari kita untuk
melakukan pencegahan gender labelling
kepada siapa pun, kita lebih baik menerima dan menghargai mereka.
REFERENSI
https://www.bappenas.go.id/files/3413/8146/3294/buku-9-analisis-gender-dalam-pembangunan-kesehatan__20130712143650__3828__0.pdf (diakses pada tanggal 29 September 2020)
Komentar
Posting Komentar